Tari Remo berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tarian ini berasal dari kecamatan Diwek Di desa Ceweng,
tarian ini diciptakan oleh warga yang berprofesi sebagai pengamen tari di kala
itu, memang banyak profesi tersebut di Jombang, tari remo pada awalnya
merupakan tarian yang digunakan sebagai pembuka pertunjukan Ludruk. Namun, sekarang tarian ini sering
ditarikan secara terpisah sebagai sambutan atas tamu kenegaraan, upacara - upacara
kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah.
Menurut sejarahnya, tari remo merupakan tari yang khusus
dibawakan oleh penari laki – laki. Ini berkaitan dengan lakon yang dibawakan
dalam tarian ini yang menampilkan kisah pangeran yang berjuang dalam sebuah
medan pertempuran. Cakraningrat dan Sawunggaling adalah
tokoh-tokoh bangsawan pejuang legendaris di Jawa Timur dijadikan orientasi
perwujudan ide-ide (figur pejuang)tari Ngremo. Tari Ngremo sebagai wujud ekspresi
nilai-nilai yang hidup lebih menampakkan sikap tegas, keras, cepat, sigap yang
tetap dalam pengcmdalian merupakan ciri-ciri ungkap yang penting. Ciri sikap
masyarakat Jawa Timur adalah lugas, spontan dalam bertutur kata, cepat dalam
bertindak, mudah marah tetapi cepat juga redanya. Jawa Timur dalam sejarah
lebih diwarnai oleh peristiwa heroik membentuk masyarakat dengan temperamen
yang keras. Kondisi lingkungan itu terangkat keseluruhan dalam kesenian. Sehingga sisi kemaskulinan penari sangat
dibutuhkan dalam menampilkan tarian ini. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, kini tarian ini menjadi lebih sering ditarikan oleh perempuan yang
disebut tari remo putri.
Ciri karakteristik yang
lain ditampakkan pada pemakaian busana tarinya. Interpretasi tentang makna
perjuangan menunjuk pada gambaran para pangeran pejuang karismatik setempat
pada masa lampau. Busana
dari penari Remo ada berbagai macam gaya, di antaranya: Gaya Sawunggaling,
Surabayan, Malangan, dan Jombangan. Selain itu terdapat pula busana yang khas
dipakai bagi Tari Remo gaya perempuan.
1. Busana gaya Surabayan :
Terdiri atas ikat kepala merah, baju
tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke-18, celana
sebatas pertengahan betis yang dikait dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran
yang menjuntai hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris menyelip
di belakang. Penari memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang
dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang
masing-masing ujung selendang. Selain itu, terdapat pula gelang kaki berupa
kumpulan lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki.
2. Busana Gaya Sawunggaling :
Pada dasarnya busana yang dipakai
sama dengan gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni penggunaan kaus putih
berlengan panjang sebagai ganti dari baju hitam kerajaan.
3. Busana Gaya Malangan
Busana gaya Malangan pada dasarnya
juga sama dengan busana gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni pada
celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan
jarum.
4. Busana Gaya Jombangan
Busana gaya Jombangan pada dasarnya
sama dengan gaya Sawunggaling, namun perbedaannya adalah penari tidak
menggunakan kaus tetapi menggunakan rompi.
5. Busana Remo Putri
Remo Putri mempunyai busana yang
berbeda dengan gaya remo yang asli. Penari memakai sanggul, memakai mekak hitam
untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai
ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu
bahu.
Salah satu ciri khas yang paling
utama dari Tari Remo adalah gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Gerakan ini
didukung dengan adanya lonceng-lonceng yang dipasang di pergelangan kaki.
Lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau menghentak di panggung. Selain
itu, gerakan selendang atau sampur, gerakan anggukan dan gelengan kepala,
ekspresi wajah, dan kuda-kuda penari membuat tarian ini semakin menarik. Juga
dari bentuk
gerak dari tari Ngremo mempunyai pola-pola gerak yang menggunakan tenaga yang banyak
bertumpu pada kaki dengan variasi pada gerak tangan. Sedangkan gerakan tubuh
relatif sedikit dilakukan dan terbatas pada pola gerak-gerak tertentu seperti
gerakan pada lambung. Gerakan-gerakan tangan cenderung cepat, tegas dan
patah-patah, tetapi terkendali oleh sikap tubuh bagian dada yang tegap dan
tenang. Pola gerak pada bagian kepala terlihat lebih dinamis karena pola yang digunakan
adalah cepat dan patah-patah, pandangan atau sorot mata yang tajam. Dapat
dicontohkan di sini adalah gerak iket dan sabetan. lket merupakan
bentuk gerak penghubung yang menggunakan pola ruang menyempit dengan garis yang
kontras, sedangkan sabetan merupakan pengembangan dari iket dilanjutkan gerakan
kaki dengan penggunaan tekanan tenaga yang cepat dan berkesinambungan,
dikombinasi dengan gerak kaki kanan terangkat dan bergetar. Dengan demikian
bahwa tari Ngremo secara umum mempunyai pola gerak yang bertumpu pada kaki
dengan variasi gerak tangan yang dinamis.
Musik yang mengiringi Tari
Remo ini adalah gamelan, yang biasanya terdiri atas bonang barung/babok, bonang
penerus, saron, gambang, gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong,
kempul, dan gong. Adapun jenis irama yang sering dibawakan untuk
mengiringi Tari Remo adalah Jula-Juli dan Tropongan, namun dapat pula
berupa gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan atau gending-gending kreasi
baru. Dalam pertunjukan Ludruk, penari biasanya menyelakan sebuah
lagu di tengah-tengah tariannya.
Tata Rias dalam tari remo
busana terlihat sangat menonjol penampakanya, karena tari Remo merupakan jenis
tarian tradisional yang selalu mengindahkan perwujudan karakter khas
sebagaimana dikehendaki oleh tema tarinya. tata rias dan tata busana tari remo
terdapat dua bentuk perwujudan karakter, yaitu karakter Sawunggaling dan
karakterCakraningrat. Kedua tokoh tersebut yang sudah melegenda di wilayah
Surabaya khususnya dan Jawa Timur pada umumnya dipakai sebagai orientasi tema
tari Ngremo. Dalam cerita - cerita Ludruk kedua tokoh ini seringkali hadir
dalam pertunjukannya, utamanya periode setelah kemerdekaan sampai tahun
1980-an. Sebagai perwujudan tokoh, tata rias dan tata busana tersebut adalah
sarana untuk mengidentifikasi diri, di mana penari mendapatkan garnbaran wujud
untuk mengimajinasikan figur tokoh yang sedang diekspresikan. Selebihnya adalah
untuk menunjukkan kejelasan garis-garis kontur wajah. Dengan demikian penonton
akan lebih jelas melihat wajah penari dari jarak yang relatif jauh. Namun pada
prinsipnya penggunaan bahan untuk meneiptakan kesan tokoh karakteristik
tersebut sarna, hanya goresan untuk menimbulkan kesan yang membedakannya. Jadi wajah
kedua tokoh tersebut dapat diarnati pada bentuk tata rias sebagaiberikut:
1.
Tata Rias Bentuk
Sawunggalingan.
Tokoh
Sawunggaling digambarkan relatif masih muda sehingga penampakan
wajah kelihatan cerah dan bersih. Alis mblarak yaitu kecil dan tegas, mata
tajam dan masih bersinar-sinar. Untuk mendapatkan kesannya, shadow warna
coklat muda dioleskan di sudut mata sebagai bayangan. Garis mata menggunakan
eye liner untuk menampakkan garis keeil yang tipis. Godeg kecil sejajar
dengan mata telinga, wara hitam. Pemerah pipi merah muda dioleskan
tipis di pipi bagian atas tidak terlalu melebar. Kumis coretan kecil (femet)
dan
bibir menggunakan lipstick wama merah muda.
2.
Tata Rias Bentuk
Cakraningratan.
Yang
membedakan kedua tokoh tersebut adalah tingkat usia dan tempat tokoh berasal.
Sawunggaling dari Surabaya dan Cakraningrat dari Madura. Tokoh dari Madura ini
digambarkan lebih keras. Penampakan wajahnya diwujudkan dengan goresan rias
lebih tebal dan tajam. Alis Mangot (lebih tebal dari Sawunggaling), rose
pipi lebih merah dan tebal, godheg rangkap sampai pada jenggot
(jambang), kumis lebih tebal dan kadang menggunakan kumis palsu (terbuat
dari rambut yang dibentuk menyerupai kumis). Bayangan mata menggunakan shadow
gelap, menggunakan celak, dan lipstick lebih merah dan tebal. Visualisasi
ini diusahakan untuk mendapatkan kesan karakter yang dewasa, matang, tegas, keras
tetapi sedikit lebih tua.